Sabtu, 31 Juli 2010

KOLONIALISME BARU: KEBISINGAN (Slamet A. Sjukur)

Slamet A.Sjukur:

KOLONIALISME BARU : KEBISINGAN

Pak Soegi, yang berpengalaman dalam hal akustik bangunan, cerita tentang bandara-udara di Makasar. Bentuk bangunannya ‘wah’ dan wakil presiden waktu itu, Jusuf Kala, sangat mengelu-elukannya. Tapi menurut pak Soegi, akustiknya jelek sekali. Siapa peduli ?

Yang penting wujudnya yang nyata, bukan bunyinya yang tidak terlihat. Kehidupan moderen lebih terpikat pada budaya kasat-mata dan budaya omong-kosong.

Maka tidak mengherankan kalau pada bangunan semegah bandara-udara di Makasar itu, orang melupakankan fungsi akustiknya. Ini wajar. Tapi tidak mungkin orang mengabaikan akibatnya: banyak penumpang tertinggal pesawat, karena tidak mengerti info yang disebarkan pengeras suara. Suaranya sudah kencang sekali, bahkan memekakkan, tapi tidak jelas. Dinding, lantai dan plafonnya saling memantulkan bunyi, sehingga terjadi gaung tumpang tindih menenggelamkan kejelasan artikulasinya.

Prof.Dr.Ir.Soegijanto, guru-besar teknik-bangunan dan akustik ITB, menceritakan hal tersebut dalam Raker Mengatasi Polusi Kebisingan.

Para dokter spesialis THT, ahli akustik, pakar tata-kota, lingkungan, sosiolog dan tokoh agama bertemu untuk bersama-sama mempermasalahkan bahaya nasional yang luput sama sakali dari perhatian kita.

Bahaya nasional ?

Ancaman yang mengerikan sudah muncul di mana-mana, tapi orang tetap saja menganggapnya remeh, karena tidak menyadari bahaya yang sesungguhnya.

Kebisingan semakin semena-mena menjajah lingkungan. Sumber utamanya kemajuan teknologi. Persis sama dengan pemanasan bumi yang disebabkan oleh ‘kemajuan yang serakah dan tidak kreatif’.

Transportasi darat, udara maupun laut, menimbulkan kebisingan, demikian pula pembuatan bangunan-bangunan raksasa, jalan tol dll. Sampai-sampai peralatan rumah-tanggapun tidak bebas dari bunyi yang mengusik ketenangan: blender, penyedot debu, pengering rambut dsb.

Disamping sebab teknologi, gaya hidup kita juga beramai-ramai menuju ‘neraka decibel’, yaitu dunia kebisingan yang sudah melampaui batas kemampuan telinga kita untuk menampungnya. Di dalam mal, gedung bioskop, stasiun dan tempat-tempat publik lainnya, kita tidak lagi dapat berkomunikasi dengan nyaman, harus teriak agar bisa didengar.

Ini bukan lagi urusan ‘selera’, kita sudah berhadapan dengan masalah ‘kodrat biologis’, telinga kita tidak akan tahan dijejali terus menerus bunyi yang kekuatannya lebih dari 70 decibel, sementara di dalam mal dan tempat rekreasi balita, bunyi yang dipancarkan di situ mencapai sekitar 90-97 decibel !

Orang mengira seolah olah telinga itu hanya untuk mendengar. Yang mendengar sebenarnya otak kita. Telinga hanyalah menampung gelombang bunyi yang lalu-lalang di udara, kemudian mengubahnya menjadi gerakan elektro-kimiawi menuju otak, disitu diolah menjadi bunyi, disebarkan ke berbagai saraf dan berpengaruh ke seluruh tubuh.

Maka kebisingan langsung menyebabkan naiknya tekanan darah, denyut jantung, emosi, sistim pencernaan dan lain-lain.

Institut Max Plank di Jerman sudah lama membuktikan bahwa orang-orang yang bekerja di tempat bising, lebih banyak punya masalah keluarga dibanding dengan mereka yang bekerja di tempat tenang. Bahkan Robert de Hare, seorang pakar psikopat dan konsultan FBI, mencatat statistik 30% penduduk New York mengidap psikopat, mereka nampak normal sekali sehari-harinya, tapi tiba-tiba bisa menjadi ganas tanpa alasan yang jelas, sebab utamanya ternyata kebisingan yang tidak disadari.

Telinga juga menjadi dinamo untuk menghidupkan otak. Agar bisa berfungsi sempurna, otak memerlukan sekitar 3.000.000 rangsangan/energi setiap detik selama sedikitnya 4 ½ jam sehari. Lebih dari separohnya diterima dari pendengaran, sisanya dari indra yang lain (mata, hidung, mulut dan kulit).

Kita lupa bahwa sebagai mahluk yang hanya ditopang dengan dua kaki, kita setiap saat berhadapan dengan masalah gravitasi, bagaimana bisa berdiri tegak dan berjalan dengan enak. Ini berkat tiga organ berbentuk semi lingkaran di dalam telinga, organ ini yang menjadi pegangan untuk bisa berjalan maju-mundur, atau ke samping atau naik-turun. Orang mabok jalannya sempoyongan, karena organ tersebut terganggu akibat alkohol. Begitu pula vertigo disebabkan tidak berfungsinya organ tersebut sebagaimana mestinya.

Pendengaran, disamping pernafasan, tidak pernah istirahat selama kita hidup, berbeda dengan bagian tubuh kita yang lain. Pernafasan sebagai sirkulasi yang tidak ada hentinya antara penyerapan zat vital yang diperlukan dan pembuangan sampahnya.Pendengaran sebagai dinamo sekaligus satpam penjaga tubuh yang tidak boleh lengah. Binatang masih mengandalkan ketajaman pendengarannya terhadap bunyi yang mencurigakan.

Maka rusaknya pendengaran tidak sebatas ketulian, tapi menyangkut seluruh jaringan saraf yang mengatur sistim biologis dan psikis tubuh kita.

Kebisingan sebagai tanda jaman, termasuk penggunaan pengeras suara yang berlebihan, merupakan anarki kebodohan. Suatu penindasan terhadap ketenangan lingkungan.

Slamet A.Sjukur, komponis.

(4915 huruf+spasi)

1 komentar:

  1. seringkali, bangunan" yg terlihat megah tidak memprioritaskan kenyamanan

    BalasHapus