Minggu, 28 Maret 2010
Gangguan Pendengaran
Sakit Kuping Karena Bising
Sekitar 20 orang yang terdiri dari musisi, ilmuwan, dokter, sampai tokoh agama berkumpul di Wisma PGI, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu sore pekan lalu. Ada musisi senior Slamet Abdul Syukur, 84 tahun, mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, dan Soegijanto, ahli akustik dari ITB. Para tokoh ini berkumpul untuk mendeklarasikan organisasi yang disebut Masyarakat Bebas-Bising. "Kami menyatakan perang terhadap kebisingan," kata Slamet Abdul Syukur kepada Gatra.
Selama ini, masih kata Slamet Abdul Syukur, kebisingan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Padahal, lama-lama kebisingan akan menjadi penyebab gangguan pendengaran. Slamet Abdul Syukur menyebut gerakan melawan bising ini sebagai gerakan religius. "Kita melindungi pemberian Tuhan, berupa telinga, dari kerusakan," ia menambahkan.
Ahmad Syafii Maarif membenarkan pernyataan Abdul Syukur itu. Syafii yang orang Padang ini mengaku kerap terganggu oleh musik yang membisingkan saban naik angkot di kota Padang. "Saya naik itu, waduh... musiknya ampun. Sampai saya tanya sopirnya, 'Ini kok ribut kali?'." Jawaban sang sopir ringan saja. "Ya, kalau tidak begini, anak-anak muda nggak mau naik, Pak!"
Kebisingan memang sudah menjadi menu sehari-hari masyarakat di kota besar di Indonesia. Tak mengherankan kalau Indonesia masuk empat besar negara dengan kasus gangguan pendegaran terbanyak di Asia. Menurut Dokter Damayanti Soetjipto, pendiri Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian, 4,6% penderita gangguan pendengaran di Asia berasal dari Indonesia.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada 1998 terdapat sekitar 250 juta penderita gangguan pendengaran, 50%-nya berada di Asia. Para penderita gangguan pendengaran ini, kata Damayanti, mudah terserang gangguan ikutan, seperti gampang marah dan stres. "Ada peningkatan hormon seperti adrenalis, bisa juga hipertensi. Lama-lama, orang bisa menyendiri karena komunikasi terganggu dan jadi asosial," katanya.
Lingkungan yang sehat, menurut Damayanti, memiliki tingkat kebisingan maksimal 70 desibel. Di atas angka itu, akan sangat berbahaya bagi telinga. "Kalau Anda terpapar kebisingan, katakanlah sampai 90 desibel, itu maksimal hanya boleh satu jam. Kalau tidak, bahaya risikonya bagi pendengaran," ujarnya.
Sayang, banyak kota besar di Indonesia memiliki tingkat kebisingan di atas angka aman tadi. Ahli THT dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Dokter Ronny Suwento, bersama timnya pernah mengadakan penelitian tingkat kebisingan di 25 titik di jalan raya Jakarta. Hasilnya, ternyata di 25 titik itu, seperti perempatan Senen dan Tanjung Priok, tingkat kebisingannya mencapai 80 desibel. Penelitian itu juga menemukan, sekitar 10,7% pedagang asongan dan kaki lima, tukang parkir, serta polisi lalu lintas yang sering terpapar kebisingan di daerah-daerah itu mengalami gangguan pendengaran.
Menurut Ronny, ketika ditanya, awalnya mereka mengaku bahwa telinga mereka baik-baik saja. "Tetapi, setelah kami tes di lingkungan yang steril, soundproof, dan pakai alat, mereka memang mengalami gangguan pendengaran," katanya. Ronny menjelaskan, gangguan pendengaran itu bersifat gradual. Orang seringkali tidak sadar bahwa mereka telah mengalami gangguan pendengaran.
Ancaman kebisingan bukan hanya ada di jalan raya. Arena bermain anak di mal-mal pun menyimpan ancaman serupa, bahkan lebih besar. Damayanti Soetjipto mengatakan, pengukuran tingkat kebisingan di arena bermain anak-anak di mal menemukan fakta, tingkat kebisingan di tempat-tempat itu mencapai 90-95 desibel.
Parahnya, terkadang orangtua tidak tahu dampak kebisingan di arena bermain itu, hingga ada yang justru meninggalkan anak di sana, sedangkan dia pergi berbelanja. "Anaknya ditinggal dulu di arena bermain, terus orangtuanya belanja. Itu, aduh... pemerintah seharusnya membuat regulasi membatasi kebisingan di arena publik, termasuk mal," tuturnya.
Anak-anak memang paling rentan menjadi korban kebisingan. Anak-anak dan remaja juga berisiko tinggi terpapar bising, terutama mereka yang hobi mendengarkan musik lewat peranti semacam iPod dan Walkman. Di Amerika Serikat, kata Damayanti, ada penelitian yang menunjukkan, anak-anak usia 6-19 tahun mengalami gangguan pendengaran gara-gara terlalu sering terekspose kebisingan dari musik yang diputar peranti itu. "Mereka disebut iPod Generation," ujarnya.
Menurut Damayanti, iPod Generation itu belum merasakan gangguan pendengaran sekarang, tapi nanti. Pada iPod Generation yang terkena gangguan pendengaran, presbikusis (melemahnya pendengaran) akan terjadi lebih cepat, yakni pada usia 30-40 tahun. "Jangan terlalu lama mendengarkan iPod. Cukup setengah sampai satu jam, dan volumenya jangan lebih dari 80 desibel. Itu 50%-60% dari total volume," ia menyarankan.
Untuk mengetahui apakah seseorang mengalami gangguan pendengaran atau belum, kata Damayanti, bisa dilakukan dengan patokan berikut. Secara teori, orang bisa mendengarkan suara pada frekuensi 20-20.000 hertz (Hz). Umumnya, gangguan itu terjadi pada frekuensi tinggi, sekitar 4.000 Hz.
Orang baru sadar ada gangguan jika gangguan itu mulai masuk ke frekuensi 500-2.000 Hz. Ini frekuensi yang sering didengar orang. Kerasnya kurang lebih seperti percakapan sehari-hari. "Kalau ada orang ngomong, dia agak tidak mendengar, baru sadar kalau kena gangguan pendengaran," katanya.
Untuk mencegah makin parahnya ancaman gangguan pendengaran, Masyarakat Bebas-Bising akan berkampanye dengan membagi-bagikan alat penutup pendengaran. Rencananya, alat itu disebar dalam waktu dekat kepada mereka yang sering berada di jalan raya, seperti polisi lalu lintas, pedagang kaki lima, dan pedagang asongan. "Alat ini bisa mengurangi kebisingan 8-10 desibel," kata Damayanti.
Ia juga menyarankan agar pemerintah mengefektifkan SK Menaker 1999 tentang Batas Terpapar Kebisingan. Dalam SK itu disebutkan, kebisingan sampai 85 desibel hanya boleh terpapar maksimal 8 jam (misalnya lalu lintas ramai, radio keras, dan stereo). Kebisingan 91 desibel hanya boleh terpapar maksimal dua jam (misalnya tempat main balita di mal, dering telepon).
Sampai tingkat 97 desibel hanya boleh terpapar maksimal setengah jam (misalnya suara mesin pemotong rumput, gergaji listrik). Dan 100 desibel hanya boleh terpapar maksimal seperempat jam (misalnya musik disko yang keras, konser rock, dan suara jet).
M. Agung Riyadi dan Basfin Siregar
[Kesehatan, Gatra Nomor 13 Beredar Kamis, 4 Februari 2010]
Senin, 22 Maret 2010
Tahukah Anda?
Oleh Dr. Damayanti Soetjipto, Sp.THT
BISING DI MAL SANGAT TINGGI PENYEBAB KETULIAN PADA ANAK BALITA ….. Bahwa BISING ditempat permainan anak-anak di mal misalnya TIME ZONE, FUN STATION cukup tinggi yaitu 90-95 decibel …………….. Berarti bahwa anak-anak tersebut hanya boleh berada ditempat tersebut sekitar 1-2 jam. Lebih dari itu akan terjadi kecapean koklea yang akan menyebabkan gangguan pendengaran menetap.
PEMAKAIAN IPOD BERLEBIHAN PENYEBAB KETULIAN PADA REMAJA …. Bahwa pemakaian iPod yang BERLEBIHAN dapat menyebabkan ketulian …. telah terjadi pada beberapa remaja yang memakai iPod dari Bangkok ke Jakarta dan dari Amerika ke Jakarta, begitu sampai Cengkareng menjadi tuli dengan derajat ketulian 110 decibel (normal pendengaran kita adalah 30-42 dB). ………….Pengobatan hanya mengembalikan menjadi 55 dB (termasuk ketulian derajat sedang-berat) dan tidak kembali normal ………….. Hati-hati dong, sayangi telingamu !!
Di Amerika Serikat didapati 28 juta menderita gangguan pendengaran yang diperkirakan meningkat menjadi 78 juta di tahun 2030. Anak-anak terpapar bising akibat pemakaian walkman, iPod, musik yang keras, TV yang lebih besar dan lebih keras sehingga didapati 5,2 juta anak Amerika usia 6-19 tahun menderita gangguan pendengaran, disebut sebagai iPod generation.
Selanjutnya diperkirakan anak-anak ini akan mengalami tuli orang tua (presbikusis) yang seharusnya dialami orang tua umur 60-70 tahun akan dialami anak-anak ini di usia lebih awal yaitu 40 tahun dimana mereka masih sangat harus produktif ….. duh kasian sekali, apa kita juga akan mengalami hal sama??
BAGAIMANA MENCEGAHNYA ? CEGAH dan KURANGI KEBISINGAN SEKARANG JUGA!!!
ANGKA GANGGUAN PENDENGARAN & KETULIAN DI INDONESIA TINGGI Bahwa data WHO, tahun 2000 ada sejumlah 250 juta (4,2%) penduduk dunia dengan gangguan pendengaran dan sekitar 75 - 140 juta (50%) berada di ASIA TENGGARA
Indonesia cukup dominan, yaitu nomer 4 di Asia Tenggara sesudah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%) dan Indonesia (4,6%) – dari WHO Multicenter Study (1998).
Dari Survai Nasional 7 propinsi di Indonesia tahun 1994-1996, gangguan pendengaran 16,8% atau 35,28 juta penduduk dan ketulian 0,4% atau 840.000 penduduk. Setiap tahun diperkirakan lahir 5000 bayi tuli di Indonesia.
CONGEK BISA BERBAHAYA Bahwa congek yang terjadi pada anak umur 2-3 tahun dapat mengganggu proses belajar bicara, anak dapat menjadi ANAK TUNA RUNGU ....... anak akan sulit sekolah, tidak dapat berkomunikasi dan akhirnya menjadi anggota masyarakat yang perlu bantuan, beban keluarga, beban masyarakat, negara dan bangsa. Dan jika terlambat berobat dapat menimbulkan komplikasi berbahaya seperti radang otak, mulut mencong, cacat bahkan kematian.
GANGGUAN PENDENGARAN & KETULIAN PERLU MENDAPAT PERHATIAN Bahwa prevalensinya tinggi, mempunyai dampak luas dan berat karena menyebabkan gangguan perkembangan kognitif, psikologi dan sosial, sehingga terjadi gangguan perkembangan komunikasi, bahasa & prestasi sekolah, tidak mampu bersosialisasi, berperilaku emosionil (cepat marah & stres) ..... akhirnya menjadi manusia dengan kualitas SDM rendah dan kesempatan kerja rendah pula .................... dan sampai saat ini penanganan belum maksimal !
APA SAJA PENYEBAB KETULIAN YANG DAPAT DICEGAH ? 5 penyakit penyebab ketulian yang dapat dicegah adalah : 1) Congek (OMSK); 2) Tuli sejak lahir (Kongenital); 3) Tuli akibat bising; 4) Tuli orang tua (Presbikusis) dan 5) serumen (kotoran telinga).
Congek terjadi karena anak sering mengalami infeksi saluran nafas atas, gizi rendah dan kemiskinan; Tuli sejak lahir terjadi akibat mudahnya mendapat obat keras saat kehamilan, kurangnya pengetahuan dan penyakit yang terjadi saat hamil; Tuli akibat bising terjadi akibat pemaparan bising melebihi kemampuan alat pendengaran (koklea), biasa terjadi pada pekerja industri, akibat modernisasi dan kemajuan industri, gaya hidup (pemakaian iPod yang berlebihan); Tuli orang tua terjadi karena proses alami yang akhir-akhir ini angkanya meningkat karena usia harapan hidup juga meningkat.
Dari penelitian di beberapa SD berbagai kota di Indonesia, ternyata angka kotoran telinga pada anak-anak ini berkisar 30-50%. Apakah orang tua jaman sekarang terlalu sibuk sehingga tidak sempat membersihkan telinga anak-anaknya ataukah terlalu jorok ?
Langganan:
Postingan (Atom)